11042453733340830034

US$20 Miliar Melayang, Asuransi Asia Tertekan di Tengah Kerugian Ekonomi Global 2024

Ayu MPI | May 19, 2025

Ilustrasi data report terkait fluktuasi pada asuransi umum. (Unsplash.com/@StephenDawson)
Ilustrasi data report terkait fluktuasi pada asuransi umum. (Unsplash.com/@StephenDawson)

Lumajang — Industri asuransi global mengalami guncangan besar sepanjang 2024 akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem.

Laporan terbaru dari WTW mengungkapkan bahwa total kerugian ekonomi akibat bencana alam di tahun tersebut mencapai lebih dari US$20 miliar (sekitar Rp328 triliun).

Namun, hanya sekitar US$2 hingga US$3 miliar yang dibayarkan melalui klaim asuransi — mencerminkan kesenjangan besar dalam perlindungan risiko bencana.

Baca juga: Ratusan Ribu Ojol Siap Matikan Aplikasi 20 Mei, Tuntut Perlindungan dan Keadilan

Dilansir dari Insurance Asia pada Kamis, 15 Mei 2025, musim topan 2024 di kawasan Pasifik Utara mencatatkan 23 badai tropis. Dari jumlah tersebut, 15 meningkat menjadi topan dan 9 tergolong berintensitas tinggi.

Meski jumlahnya sedikit lebih rendah dari rata-rata tahunan, dampak fisik dan ekonominya jauh lebih besar karena meningkatnya intensitas dan lokasi pendaratan badai yang strategis.

Salah satu bencana paling merusak adalah Topan Yagi, yang menghantam Asia Tenggara dan menewaskan sekitar 1.200 orang. Total kerugian ekonomi dari topan ini diperkirakan mencapai US$15 miliar, namun hanya sekitar US$1 miliar yang tercakup oleh polis asuransi.

Baca juga: Sungai di Tempursari, Destinasi Wisata Alam Mirip Amazon di Lumajang

Wilayah yang paling terdampak, seperti China Selatan dan Vietnam, memiliki tingkat penetrasi asuransi yang sangat rendah.

Padahal, Topan Yagi melaju dengan kecepatan hingga 160 mil per jam, menjadikannya salah satu badai terkuat yang pernah menghantam kawasan tersebut.

Sementara itu, Topan Shanshan yang melanda Jepang juga menyebabkan kerusakan signifikan. Namun, nilai klaim asuransi tetap rendah — di bawah US$1 miliar — karena wilayah terdampak memiliki perlindungan asuransi yang terbatas.

Foto Ilustrasi. Industri asuransi Asia mengalami disrupsi akibat kerugian ekonomi di 2024. (Pixabay/Oleg Gamulinski)

Filipina juga mengalami krisis beruntun, dihantam enam badai dalam waktu 30 hari. Lebih dari 13 juta orang terdampak dengan total kerugian mencapai US$500 juta. Sayangnya, minimnya kepemilikan asuransi membuat banyak warga tidak mendapat perlindungan finansial yang memadai.

Kondisi ini menyoroti semakin lebarnya gap perlindungan asuransi di Asia, di tengah meningkatnya risiko akibat perubahan iklim.

Industri asuransi kini dihadapkan pada tantangan besar untuk memperluas jangkauan layanan, meningkatkan literasi publik, serta mendorong kolaborasi dengan pemerintah dan sektor swasta demi membangun ketahanan keuangan menghadapi krisis iklim.

Baca juga: Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Siap Sediakan Asrama untuk Mahasiswa ITS Penerima KIP Kuliah

Dampak cuaca ekstrem global juga dirasakan di Indonesia. Industri asuransi umum mencatat kinerja yang sangat tertekan sepanjang 2024.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laba setelah pajak yang sebelumnya mencapai Rp7,80 triliun pada 2023, merosot drastis hingga mencatatkan kerugian sebesar Rp10,14 triliun pada 2024 — penurunan hingga 197,8%.

Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, menjelaskan bahwa penurunan tajam ini terutama disebabkan oleh hasil underwriting yang melemah, serta meningkatnya cadangan premi dan cadangan klaim.

Baca juga: Longsor di Jalur Piket Nol KM 55, Kapolsek Candipuro Imbau Pengguna Jalan Waspada

“Tentunya laba ini terpengaruh dari hasil underwriting. Seperti kita ketahui, komponen laba perusahaan asuransi berasal dari hasil underwriting dan hasil investasi,” jelas Budi dalam konferensi pers AAUI di Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025.

Data OJK menunjukkan bahwa hasil underwriting pada 2023 mencapai Rp19,46 triliun. Namun pada 2024, angka ini terjun bebas menjadi defisit Rp1,52 triliun, atau turun 102,7%.

Selain itu, cadangan premi melonjak drastis dari Rp3,44 triliun pada 2023 menjadi Rp22,27 triliun di 2024 — naik 546,5%. Sementara cadangan klaim naik dari Rp1,25 triliun menjadi Rp5,08 triliun atau meningkat 306,3%.

Baca juga: Kearifan Lokal dan Spirit Toleransi Terpancar dalam Tradisi Undhuh-undhuh Desa Tunjungrejo Lumajang

Dengan meningkatnya intensitas bencana alam dan rendahnya tingkat perlindungan asuransi di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, industri asuransi menghadapi tekanan berat.

Ke depan, perlu adanya strategi yang lebih agresif untuk memperluas akses dan edukasi asuransi sebagai bagian dari upaya mitigasi risiko perubahan iklim. ADM-DEC

 

Posted in

17897693842308995060

Berita Lainnya

Baca Juga