ABSENNYA TRADISI, HADIRNYA SENSASI
Dalam tradisi pemerintahan, 100 hari kerja pertama sering dijadikan tolak ukur awal untuk melihat arah kepemimpinan kepala daerah yang baru. Momentum ini biasanya digunakan untuk menunjukkan program prioritas, membangun fondasi layanan publik, dan memastikan bahwa janji kampanye diterjemahkan ke dalam aksi nyata.
Namun di Lumajang, tradisi itu seolah dihapus. Tak ada target 100 hari. Yang muncul justru sayembara penangkapan maling dengan hadiah Rp 100 juta. Tanpa rencana kerja, tanpa kerangka pembangunan, yang tampil ke publik hanyalah poster hadiah tunai bagi warga yang bisa menangkap pelaku kriminal.
Seperti yang dilansir mediapedoman-indonesia.com (2 Juni 2025), kebijakan ini menuai kontroversi. Apakah ini wajah baru inovasi pemerintahan? Bukan evaluasi kebijakan. Bukan pertemuan Forkopimda. Bukan penguatan sistem hukum. Tapi… sayembara.
NEGARA LELAH, RAKYAT DISURUH GANTIAN
Sayembara ini lebih menyerupai pernyataan: negara menyerah. Negara lelah bertanggung jawab menjaga keamanan. Maka rakyat disuruh menggantikan. Tapi tentu saja, dengan iming-iming hadiah uang tunai.
Padahal, menjaga keamanan adalah tugas konstitusional negara. Bukan sesuatu yang bisa dilimpahkan ke masyarakat sipil begitu saja. Apalagi tanpa sistem perlindungan, tanpa panduan hukum, tanpa jaminan keselamatan.
Lebih berbahaya lagi, kebijakan ini membuka ruang tuduh-menuduh, konflik horizontal, hingga potensi main hakim sendiri. Demi uang, orang bisa tergoda melanggar prosedur hukum. Dan sistem peradilan ditinggalkan begitu saja.
Di Era Arsal, Sistem yang Bekerja Bukan Sayembara
Sebagian warga Lumajang tentu masih ingat masa ketika keamanan publik dikelola secara sistematis. Di bawah kepemimpinan AKBP Arsal Sahban sebagai Kapolres Lumajang (2018–2020), langkah-langkah pemberantasan kejahatan dilakukan dengan pendekatan profesional, berbasis data, dan melibatkan masyarakat dalam koridor hukum.
Arsal tak pernah menggelar sayembara. Ia membentuk Tim Cobra, satuan yang aktif membongkar jaringan kriminal, termasuk begal dan mafia tanah. Ia membangun sistem, menjalin koordinasi dengan pemerintah daerah, dan menjaga komunikasi terbuka dengan masyarakat.
Keamanan kala itu bukan hasil tangkap-tangkapan liar, tapi kerja sistematis dari negara yang hadir. Masyarakat percaya, karena negara bekerja. Tak perlu sayembara. Tak perlu hadiah. Karena hukum ditegakkan dan keadilan diupayakan.
Kini, pendekatan seperti itu justru digantikan oleh semangat pragmatis: lebih mudah cetak spanduk hadiah ketimbang membangun sistem keamanan.
DISTORSI ANGGARAN, DISTORSI ARAH
Makin terasa ketika publik tahu bahwa usulan anggaran untuk Petugas Haji Daerah (PHD) sebesar Rp 94 juta justru ditolak. Alasannya, menurut laporan pediapedoman-indonesia.com (31 Mei 2025): tidak ada pos anggaran.
Namun, anggaran Rp 100 juta untuk sayembara bisa tersedia dalam waktu singkat. Ini menunjukkan distorsi orientasi anggaran. Kegiatan spiritual dan pelayanan ibadah dipinggirkan, sementara kebijakan populis dijadikan panggung utama.
Apakah ini cermin dari arah kepemimpinan sekarang? Ketika sensasi lebih penting daripada nilai. Ketika popularitas lebih utama dari pelayanan.
SENSASI MENANGKAP, RISIKO SALAH TANGKAP
Sayembara ini bukan tanpa risiko. Pakar hukum pidana dari Universitas Jember menyatakan kepada MediaPedoman-Indonesia.com (3 Juni 2025) bahwa kebijakan seperti ini berpotensi memicu salah tangkap dan kekerasan sipil.
Ketika warga digoda oleh iming-iming hadiah, semangat hukum bisa berubah menjadi semangat balas dendam. Seseorang bisa dituduh hanya karena kecurigaan. Dan ketika salah satu warga mengalami kekerasan atau salah tangkap, siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah? Polisi? Atau rakyat yang jadi pelaku?
Sayembara semacam ini mengaburkan garis batas antara hukum formal dan tindakan massa.
SENSASI MENGALAHKAN SISTEM
Tak ada lagi cerita tentang 100 hari kerja. Tak ada program pembenahan layanan. Tak ada target infrastruktur. Yang ada hanya hadiah Rp 100 juta—sebagai daya tarik, sebagai pengalih isu, sebagai pengakuan bahwa negara sedang lelah menjalankan tugasnya sendiri.
Kebijakan ini bukan solusi, tapi cermin dari mentalitas populis yang memilih sensasi daripada sistem. Masyarakat didorong untuk bereaksi, bukan diajak berpikir. Disuruh mengejar maling, bukan membangun kepercayaan pada hukum dan membangun jati diri.
Barangkali memang ini maksudnya: biarkan sistem rusak perlahan, asal rakyat tetap sibuk mengejar maling dan lupa pada arah kebijakan.
Penulis: Fauzi Imron, M.pd
Posted in Opini & Artikel