Lumajang – Di tengah perdebatan panjang soal arah pembangunan nasional, Desa Tukum menunjukkan bahwa jawaban bagi masa depan bangsa kadang lahir dari tindakan paling sederhana: memeluk anak-anak yang tumbuh tanpa orang tua, lalu membuat mereka percaya bahwa mereka berhak bahagia dan dicintai.
Kepala Desa Tukum, Susanto yang akrab disapa Cak Santo menggandeng Paguyuban Sosial Pintu Surga Kabupaten Lumajang untuk menggelar kegiatan santunan anak yatim yang tak biasa.
Bertajuk “Bermain dan Berbagi Bahagia”, kegiatan ini diikuti 50 anak yatim dari berbagai desa, termasuk 20 anak dari Tukum, dan dikemas bukan sebagai acara formal, tetapi sebagai perayaan keberanian anak-anak dalam tumbuh menghadapi kehilangan.
Baca juga: Jembatan Kokapan: Simbol Gotong Royong dan Peran Negara dalam Pembangunan Desa
Berlangsung di kawasan wisata alam Tumpak Selo, Kamis (10/7/2025), kegiatan ini menghadirkan suasana akrab penuh tawa.
Bukan hanya memberikan santunan dalam bentuk uang dan bingkisan, Cak Santo dan timnya juga mengajak anak-anak untuk bermain, bercerita, menyusuri aliran sungai dengan ban pelampung sebuah metafora lembut tentang kehidupan yang harus terus mengalir meski tanpa pendayung utama, yaitu ayah atau ibu.
Baca juga: Hama dan Banjir Ancam Lahan? Simak Syarat Petani Lumajang Dapat Asuransi
“Anak-anak yatim ini bukan objek belas kasihan. Mereka adalah subjek masa depan bangsa. Mereka kehilangan satu pelindung, maka negara dalam wujud desa harus hadir mengisi ruang itu,” ujar Cak Santo, yang dikenal luas sebagai pemimpin desa dengan pendekatan kebijakan berbasis kasih dan nilai kemanusiaan.
Ia menekankan bahwa pembangunan desa tidak boleh hanya diukur dari panjang jalan yang diaspal atau volume drainase yang dibangun, tetapi juga dari seberapa jauh pemimpin dan warganya menjaga anak-anak yang paling rentan tumbuh dalam rasa aman dan cinta.
“Kalau kita bicara ketahanan bangsa, jangan lupa bahwa anak-anak yatim adalah bagian dari infrastruktur sosial kita. Merawat mereka sama dengan merawat fondasi masa depan Indonesia,” tambahnya.
Baca juga: Pelayanan Kesehatan di Lumajang Terus Ditingkatkan Meski Belum Ideal
Paguyuban Sosial Pintu Surga yang ia inisiasi dan pimpin berkembang menjadi ruang kolaborasi antardesa dalam menyalurkan bantuan, empati, dan waktu.
Di tengah meningkatnya ketimpangan sosial, paguyuban ini menjadi wajah solidaritas lokal yang menjembatani antara kemampuan dan kebutuhan.
Di sela kegiatan, tak satu pun anak diposisikan sebagai penerima pasif. Mereka dilibatkan, dihormati, dan disapa satu per satu. Tangan-tangan orang dewasa menggandeng mereka tidak hanya untuk dibantu, tapi untuk dipastikan bahwa mereka tumbuh dalam pelukan sosial yang sehat.
Baca juga: Pemerintah Salurkan Jaminan Usahatani kepada 1.923 Petani di Lumajang
“Tidak ada yang lebih menyedihkan dari tumbuh dewasa dalam sunyi. Tugas kita adalah memastikan tidak satu pun anak yatim merasa sendiri di negerinya sendiri,” ucap Cak Santo.
Kegiatan ini bukan hanya menghadirkan kegembiraan sesaat, melainkan juga menanam nilai dalam budaya desa: bahwa desa bisa dan harus menjadi benteng pertama perlindungan anak.
Dari Tukum, Tempeh, Kepuharjo hingga Labruk dan Suko, gema ini menyebar bahwa pembangunan tak melulu soal gedung dan jalan, tetapi juga tentang mengukuhkan desa sebagai rumah besar yang peduli dan memeluk siapa pun yang kehilangan.
Sumber: Portal Berot
Posted in Berita Daerah