11042453733340830034

Evaluasi TPHD: Jangan Salahkan Petugas, Awali dari Ketidakpatuhan Pemda

Bahrus Syofan | Jun 13, 2025

PhotoGrid_Site_1749793715921

Pernyataan anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, yang mengkritik buruknya kinerja Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD)—terutama soal rendahnya kompetensi, lemahnya penguasaan bahasa Arab, serta kurangnya kedisiplinan—memang perlu menjadi perhatian. Ia juga mendorong agar proses seleksi petugas diperketat di masa mendatang.

Namun dengan segala hormat, kritik tersebut terasa tidak utuh dan cenderung menyasar pada gejala, bukan akar persoalan. Evaluasi terhadap kualitas TPHD semestinya dimulai dari keberpihakan dan kepatuhan pemerintah daerah terhadap amanat undang-undang, bukan sekadar menyalahkan para petugas di lapangan.

Fakta di Lapangan: TPHD Lumajang Dibiarkan Berjuang Sendiri

Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 menegaskan bahwa “Biaya operasional petugas haji daerah dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).” Namun realita yang terjadi di Kabupaten Lumajang menunjukkan ironi yang menyakitkan: sejak 2019 hingga 2025, tidak satu rupiah pun dari APBD dialokasikan untuk mendanai keberangkatan TPHD.

Petugas tetap diberangkatkan setiap tahun, namun seluruh biaya—dari transportasi, akomodasi, hingga seragam—harus ditanggung secara mandiri oleh para petugas. Ini bukan sekadar keteledoran, tetapi bentuk nyata pengabaian tanggung jawab konstitusional oleh Pemda.

DPRD: Janji Goib

Dalam beberapa forum audiensi publik, DPRD Lumajang sempat menyatakan akan merekomendasikan pembiayaan TPHD dalam APBD tahun berikutnya. Namun hingga saat ini, janji tersebut hanya berakhir di ruang dengar—tanpa satu pun bukti administratif berupa surat rekomendasi, risalah rapat, atau keputusan resmi. Semuanya nihil.

Anggaran Ironis: Rp 3,5 Miliar untuk Atlet, Nol untuk Pelayan Ibadah

Yang lebih menyedihkan, Pemkab Lumajang bahkan mampu mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3,5 miliar untuk mendukung kontingen atlet daerah. Tetapi untuk para petugas haji—yang menjalankan tugas mulia dan membawa nama baik daerah ke Tanah Suci—tidak pernah disediakan anggaran sedikit pun. Di mana letak keadilan kebijakan ini?

Petugas Disalahkan, Pemda Dibiarkan?

Kita tentu mendambakan profesionalisme TPHD. Namun apakah mungkin mengharapkan kinerja optimal dari petugas yang tidak pernah difasilitasi, dilatih, atau bahkan dibiayai oleh pemerintah daerahnya sendiri?

Siapa yang sebenarnya layak disalahkan dalam situasi ini: petugas yang berjuang dengan segala keterbatasan, atau pemerintah daerah yang melalaikan kewajibannya, lalu ikut-ikutan mengkritik?

Kritik Harus Adil dan Menyentuh Akar Masalah

Kami sependapat bahwa kualitas petugas haji perlu ditingkatkan melalui seleksi ketat dan pelatihan intensif. Namun kritik terhadap TPHD tidak boleh berhenti pada individu pelaksana di lapangan. Ia harus diarahkan pada sistem yang selama ini menindas mereka secara struktural.

Mengecam petugas tanpa menyinggung kelalaian pemerintah daerah dalam pembiayaan adalah kritik yang tidak lengkap—dan pada akhirnya hanya akan memperkuat ketidakadilan yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Solusinya: Akui Kegagalan, Lalu Perbaiki

Sebelum berbicara soal mutu layanan haji, kita perlu jujur bertanya: apakah Pemda dan DPRD telah menjalankan mandat undang-undang secara benar?

Jika jawabannya belum, maka kegagalan TPHD adalah refleksi langsung dari kegagalan Pemda dalam menjalankan tanggung jawabnya. Dan dalam hal ini, DPR pun tidak bisa cuci tangan. Sudah sepatutnya kita semua—pemerintah pusat, daerah, hingga legislatif—bahu membahu memperbaiki sistem yang timpang ini. Bukan malah melempar kesalahan pada pihak paling lemah dalam struktur: para petugas. Transparansi Publik dan media harus aktif meminta bukti dokumen anggaran (surat, berita acara, SK DPRD) agar janji tidak sekadar retorika.

 

Posted in

17897693842308995060

Berita Lainnya

Baca Juga