11042453733340830034

Hidup Nyaman Bersama Ancaman Realita Mitigasi Bencana Lahar Dingin Gunung Semeru

Bahrus Syofan | May 26, 2025

IMG-20250526-WA0055


“Hidup Nyaman Bersama Ancaman” — terdengar seperti ungkapan penuh semangat, bukan? Namun di kaki Gunung Semeru, kalimat ini lebih menyerupai ironi ketidakadilan. Bukan tentang bagaimana manusia berdampingan dengan alam, melainkan tentang bagaimana masyarakat lereng gunung dipaksa beradaptasi dengan bencana yang seharusnya bisa diminimalisir.

Ancaman lahar dingin di Semeru bukanlah kejutan baru. Ia datang nyaris setiap tahun, mengikuti hujan deras yang mengguyur lereng gunung. Material vulkanik dari letusan sebelumnya akan meluncur turun, menghancurkan jembatan, menutup jalan, mengubur sawah. Siklus ini terus berulang. Namun, mengapa respons kita tetap sama: lamban dan reaktif?

Realitas ini menyingkap satu persoalan serius: mitigasi bencana di negeri ini lebih banyak berhenti di atas kertas. Peta rawan bencana ada, dokumen SOP evakuasi dibuat, simulasi dilakukan. Tetapi begitu bencana datang, kita tetap gagap. Warga masih bergantung pada firasat dan informasi dari mulut ke mulut, bukan pada sistem peringatan dini yang terintegrasi dan dapat diandalkan.

Slogan “hidup nyaman bersama ancaman” menjadi menyakitkan jika ditanyakan pada warga yang sawahnya lenyap, atau pada anak-anak yang kini harus menyeberangi jembatan darurat dari bambu. Kenyamanan macam apa yang dimaksud? Kenyamanan siapa?

Kemiskinan Infrastruktur, Kekayaan Retorika

Ketimpangan antara narasi kebencanaan dan kenyataan di lapangan mencolok. Sabo dam masih minim, jalur evakuasi banyak yang rusak, bahkan sebagian wilayah rawan belum tersentuh teknologi pemantauan bencana. Di sisi lain, proyek-proyek penambangan pasir tetap berjalan. Tak sedikit yang dilegalkan, tak sedikit pula yang liar.

Kita semua tahu: pasir vulkanik Semeru adalah komoditas yang menggiurkan. Tapi apakah keuntungan ekonominya sepadan dengan risiko ekologis yang ditanggung rakyat kecil? Sayangnya, kritik terhadap industri tambang pasir sering kali dibungkam oleh kepentingan yang lebih besar.

Saatnya Menggugat Slogan

Sudah waktunya kita menggugat makna slogan ini. Hidup nyaman bersama ancaman tidak bisa diwujudkan dengan membiarkan masyarakat hidup dalam bayang-bayang bencana yang berulang tanpa jaminan keselamatan. Slogan ini hanya bisa dibenarkan jika ada komitmen nyata membangun sistem mitigasi yang menyeluruh, berkeadilan, dan berpihak pada warga yang paling rentan.

Kenyamanan bukan sekadar narasi. Ia harus hadir dalam bentuk jembatan yang kokoh, jalur evakuasi yang cepat, peringatan dini yang akurat, dan relokasi yang manusiawi. Jika itu semua belum terpenuhi, maka kita belum benar-benar hidup nyaman bersama ancaman—kita hanya sedang dibiarkan hidup bersama ketidakpedulian.

penulis : Cal Nur Kholik – Ketua DPC GRIB JAYA Kabupaten Lumajang

 

Posted in

17897693842308995060

Berita Lainnya

Baca Juga