Optimisme publik atas laporan pertanggungjawaban keuangan daerah tampaknya terlalu dini. DPRD Lumajang menyatakan bahwa Laporan Pertanggungjawaban APBD 2024 telah memenuhi regulasi dan siap diajukan ke Kementerian Dalam Negeri. Namun, sebuah fakta mencolok terabaikan: sejak 2019, Kabupaten Lumajang tidak pernah menganggarkan Dana Petugas Haji Daerah (PHD), padahal kewajiban itu diatur tegas dalam Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019.
Ini bukan tuduhan, melainkan pengakuan terbuka dari Sekda Lumajang, Agus Triono. Ia menyatakan bahwa tidak ada alokasi Dana PHD sejak 2019, dan bahkan menambahkan bahwa jika ada petugas haji yang tetap ingin berangkat, silakan menggunakan dana mandiri
Pernyataan ini sangat serius. Pemerintah daerah tidak hanya gagal memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga cenderung mengalihkan tanggung jawab kepada individu. Maka wajar jika muncul pertanyaan: apakah laporan keuangan yang mengabaikan mandat undang-undang masih pantas disebut “memenuhi regulasi”?
Substansi vs Formalitas
Dalam praktik pemerintahan, istilah regulasi sering direduksi menjadi sekadar urusan administratif: kelengkapan dokumen, kelaziman prosedur, dan kepatuhan teknis. Padahal, kepatuhan sejati mencakup implementasi nyata atas substansi hukum. Undang-undang tidak dibuat untuk dipajang, melainkan untuk dilaksanakan—termasuk dalam bentuk anggaran yang berpihak pada tugas pelayanan publik.
Mengabaikan amanah undang-undang selama lima tahun berturut-turut jelas bukan lagi kelalaian. Itu adalah pembiaran hukum yang sistematis. Jika laporan yang tampak rapi di permukaan dibiarkan tanpa memuat ketaatan terhadap isi hukum, maka yang terjadi sesungguhnya adalah kepalsuan tata kelola.
Di Mana DPRD?
Dalam konteks ini, DPRD tidak bisa cuci tangan. Sebagai lembaga pengawas anggaran, DPRD Lumajang memiliki tanggung jawab besar atas lolosnya laporan pertanggungjawaban yang secara substansi mengandung pelanggaran hukum. Jika pelanggaran tahunan semacam ini bisa lolos tanpa koreksi, pertanyaan publik tak terhindarkan: sejauh mana DPRD masih menjalankan fungsinya secara kritis?
Normalisasi atas pelanggaran hukum melalui persetujuan DPRD justru menegaskan bahwa masalah ini bukan semata administratif. Ini adalah masalah institusional, masalah integritas kelembagaan, yang bisa menjadi preseden buruk bagi banyak daerah lain.
Ibadah dan Keadilan
Isu ini menyentuh aspek yang sangat fundamental: keadilan dalam pelayanan publik. Petugas haji di banyak daerah lain mendapatkan dukungan anggaran sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah haji yang terkoordinasi dengan negara. Namun, di Lumajang, hak itu terabaikan bahkan tak pernah dibahas secara terbuka. Pemerintah daerah bahkan merasa cukup dengan menyarankan “silakan pakai uang pribadi”.
Ini menunjukkan adanya cara pandang birokratis yang kering: hukum dipahami sebagai pilihan, bukan kewajiban. Bila dibiarkan, ini akan menciptakan model kekuasaan yang bisa menunda atau meniadakan amanah hukum tanpa konsekuensi politik atau moral.
Harus Ada Perubahan
Inilah saatnya Pemerintah Kabupaten dan DPRD Lumajang mengambil langkah nyata. Alokasi Dana PHD harus dimasukkan dalam APBD Perubahan 2025 atau paling lambat dalam RAPBD 2026. Ini bukan sekadar memenuhi aturan, tetapi bagian dari upaya memulihkan kepercayaan publik dan marwah institusi pemerintahan lokal.
Kepatuhan terhadap regulasi tidak cukup dibuktikan lewat berkas atau lemari dokumen. Kepatuhan sejati hadir dalam wujud alokasi anggaran yang adil, transparan, dan menyentuh kebutuhan nyata masyarakat.
Penulis: Imron Fauzi, M.Pd
Pengamat Tata Kelola Publik
Posted in Opini & Artikel